Jumat, 20 Juli 2012

Gandrang Bulo

 Diposkan Oleh Muhammad Adlan Saleh - 105310166710
E-mail : adlan.botak@yahoo.com

Kocak tapi Menarik
Gandrang Bulo sebagai seni tradisi masyarakat Sulawesi Selatan yang kelihatannya kocak, ternyata mampu mengocok perut setiap penonton. Tak heran jika mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat lokal maupun Internasional.


Bagi Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya warga Makassar tari gandrang bulo sudah tidak asing lagi. Hampir setiap ada acara, baik dalam skala lokal, maupun nasional, seni tradisi ini nyaris tak pernah absen dipertunjukkan.
Gandrang bulo sudah dikenal sejak jaman sejak jaman raja-raja Gowa. Pada awalnya, Gandrang Bulo yang hanya berupa tarian dengan permainan musik gendang dan biola dari bambu. Gandrang Bulo ini lazim disebut dengan Gandrang Bulo Ilolo gading, yang dinisbatkan pada salah satu perlengkapan musiknya yang terbuat dari bambu lolo gading atau dalam bahasa daerah makassar dikenal bulo batti (sejenis bambu tertentu).
Namun pada masa penjajahan Jepang tahun 1941 mulai diselipi dengan dialog-dialog spontan yang disertai gerak gestur tubuh yang kocak oleh para seniman pejuang di jaman kemerdekaan.

Kamis, 19 Juli 2012

Kota Makassar di Cape Town Afrika Selatan


DIPOSTING : IRFANDI
                         105310167110
Syekh Yusuf Pahlawan Kemanusiaan
Makassar, selain dikenal sebagai ibukota propinsi Sulawesi Selatan, rupanya juga merupakan nama kota/tempat di empat daerah lain. Hampir semuanya punya kaitan historis yang erat dengan kota Makassar, di Sulawesi Selatan. Salah satunya kota Makassar yang ada di kota kecil di Afrika Selatan, berdekat dengan Strand dan Somerset Barat, dengan perkiraan populasi 38.136 jiwa. Sejarah kota kecil ini terkait erat dengan sosok sufi pejuang asal Gowa, Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, yang makamnya ditemukan di sana.
Syekh Yusuf yang dilahirkan di

Badik Pusaka Makassar

DIPOSTING : IRFANDI

                         105310167110

Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.

Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.

Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni

 Diposkan oleh Siti Hajjah Pasri(105 310 1675 10)

MacceraManurun di Enrekang
Dangke,dari Enrekang menuju MANCANEGARA

ACCERA KALOMPOANG

Di POskan OLeh: Muhammad Adlan Saleh (105310166710)

Upacara adat
Accera Kalompoang adalah salah satu ritual adat yang bersifat sakral, yang sangat diyakini dan dihormati oleh masyarakat Gowa, Sulawesi Selatan. Upacara yang di gelar dirumah adat Balla Lompoa atau Istana Raja Gowa ini merupakan upacara ritual adat terbesar sepanjang tahun. Prosesinya sendiri dimulai sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu Sultan Alauddin, Raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam. Accera Kalompoang, merupakan acara ritual pencucian benda-benda peninggalan Kerajaan Gowa yang masih tersimpan di Istana Balla Lompoa. Berlangsung selama 2 hari berturut-turut, menjelang dan pada saat Idhul Adha.
Ritual allekka je’ne, merupakan upacara mengambil air di Bungung Lompoa (Sumur Agung bertuah yang terletak di daerah Katangka, tepatnya di atas bukit Takabassia). Sesajen berupa bente, atau beras ketan, dupa, lilin, dan daun sirih, turut serta dibawa bersama iring-iringan Dewan adat Kerajaan Gowa, Sambil melantunkan paroyong, atau nyanyian kepada Sang Pencipta dan leluhur, para sesepuh adat memainkan alat musik jajjakkang. Alat musik yang terdiri dari kancing, bacing, bulo, dan kaoppo ini merupakan alat musik yang digunakan kalangan raja untuk pesta adat di Gowa.
Sesajen mulai ditabur diatas air sumur. Air sumur lalu diambil dengan menggunakan sero, atau timba, yang bahannya terbuat dari daun lontar. Konon, ada tiga sumur disekitar Bukit Tamalatea. Namun dua dari tiga sumur tersebut,telah hilang secara ghaib.

Lingkungan dan Masyarakat Flores

Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia. Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996). Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang). Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah). Terakhir kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan). Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal-usul genealogis dan budaya yang sama. Agama-agama Asli di Flores Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik. Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)– sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran. Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan ‘wujud tertinggi’ orang Flores. Tabel itu menunjukkan bahwa orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi. oleh ROFIDAH HUSEN 105310168910