Kamis, 19 Juli 2012

ACCERA KALOMPOANG

Di POskan OLeh: Muhammad Adlan Saleh (105310166710)

Upacara adat
Accera Kalompoang adalah salah satu ritual adat yang bersifat sakral, yang sangat diyakini dan dihormati oleh masyarakat Gowa, Sulawesi Selatan. Upacara yang di gelar dirumah adat Balla Lompoa atau Istana Raja Gowa ini merupakan upacara ritual adat terbesar sepanjang tahun. Prosesinya sendiri dimulai sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu Sultan Alauddin, Raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam. Accera Kalompoang, merupakan acara ritual pencucian benda-benda peninggalan Kerajaan Gowa yang masih tersimpan di Istana Balla Lompoa. Berlangsung selama 2 hari berturut-turut, menjelang dan pada saat Idhul Adha.
Ritual allekka je’ne, merupakan upacara mengambil air di Bungung Lompoa (Sumur Agung bertuah yang terletak di daerah Katangka, tepatnya di atas bukit Takabassia). Sesajen berupa bente, atau beras ketan, dupa, lilin, dan daun sirih, turut serta dibawa bersama iring-iringan Dewan adat Kerajaan Gowa, Sambil melantunkan paroyong, atau nyanyian kepada Sang Pencipta dan leluhur, para sesepuh adat memainkan alat musik jajjakkang. Alat musik yang terdiri dari kancing, bacing, bulo, dan kaoppo ini merupakan alat musik yang digunakan kalangan raja untuk pesta adat di Gowa.
Sesajen mulai ditabur diatas air sumur. Air sumur lalu diambil dengan menggunakan sero, atau timba, yang bahannya terbuat dari daun lontar. Konon, ada tiga sumur disekitar Bukit Tamalatea. Namun dua dari tiga sumur tersebut,telah hilang secara ghaib.

Usai mengambil air, rombongan kembali ke istana untuk mengikuti upacara selanjutnya. Yaitu upacara ammolong tedong, atau penyembelihan kerbau, saat matarahari pada posisi allabang lino atau pertengahan bumi. Kerbau yang akan disembelih harus memenuhi syarat antara lain jantan, berwarna hitam dan kondisinya prima. Sang kerbau pun diperlakukan secara khusus. Diberi cermin, disisir bulu-bulunya, dan diikatkan kain putih sebagai simbol kesucian. Lalu kerbau diarak keliling istana sebanyak 3 kali putaran.
Sebelum prosesi penyembelihan berlangsung, keluarga yang memiliki hajat, melakukan sebuah prosesi, sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta dan para leluhur. Satu persatu para turunan Raja Gowa ini, memecahkan telor, memberi minyak khusus dan mengarahkan uap ke kepala kerbau. Penyembelihan dilakukan oleh seorang sesepuh adat. Darah kerbau ini selanjutnya disimpan di istana.
Malam hari, berlangsung upacara appidalleki, yang bermakna, persembahan sesajen kepada leluhur sembari memanjatkan doa syukur kepada Sang Pencipta. Upacara ini hanya untuk kalangan keluarga raja saja.
Keesokan Harinya, usai mengikuti shalat Idul Adha, upacara allangiri kalompoang, atau pencucian benda-benda utama pusaka kebesaran Kerajaan Gowa pun dimulai. Ini merupakan puncak upacara dari segala rangkaian acara accera kalompoang. Air bertuah yang diambil dari Bungung Lompoa diletakkan diatas panggung, beserta darah kerbau dan sesajen lainnya.
Benda peninggalan Kerajaan Gowa yang berjumlah 13 buah, mulai dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Annyossoro, atau pembersihan mulai dilakukan, Benda-benda pusaka ini lalu diberikan kepada para sesepuh adat yang sudah menanti di atas panggung.
Para sesepuh adat mulai mencuci benda-benda pusaka yang terdiri dari, salokoa, atau mahkota Raja, yang memiliki berat 1768 gram, terbuat dari emas murni, dan ditaburi 250 permata, dimana Mahkota ini berasal dari Raja Gowa Pertama Tumanurung Baineyya.
Benda pusaka lain adalah ponto janga jangaya (Terbuat dari emas murni yang berat seluruhnya 985,5 gram, bentuknya seperti Naga yang melingkar sebanyak 4 buah. Dinamai “Mallimpuang” yang berkepala naga satu dan “Tunipalloang” yang berkepala naga dua, benda ini merupakan benda “Gaukang” {kebesaran Raja} di Gowa dan dipakai pada pergelangan tangan, Benda ini berasal dari Tumanurunga). Dilanjutkan dengan pencucian tobo kaluku (rante manila dengan berat 270 gram yang merupakan hadiah dari kerajaan Sulu di Philipina pada abad XVI), empat kolara (kalung kebesaran yang terbuat dari emas murni seberat 2.182 gram), empat kancing gaukang (kancing emas) dengan berat 277 gram,
Tidak ketinggalan benda tajam seperti lasippo berbentuk parang dari besi tua, sudanga berbentuk kalewang yang merupakan senjata sakti atribut raja, berang manurung (parang panjang) dan mata tombak tiga jenis. atau rantai emas, dan benda-benda pusaka lainnya, yang sering digunakan para raja dahulu kala. Satu persatu benda pusaka dibasuh oleh air Sumur Bungung Lompoa, kemudian diasapi dengan dupa.
Upacara diakhiri dengan prosesi attitele, atau pelepasan hajat. Para keturunan Raja Gowa mengambil air dan darah kerbau untuk dibubuhi pada mahkota. Jaman dulu kala, seusai mencuci benda pusaka, masyarakat menunggu proses annimbang, atau menimbang benda-benda pusaka dengan timbangan khusus, konon ketika timbangan Benda-Benda Kebesaran itu lebih berat dari tahun sebelumnya maka hal tersebut merupakan suatu petanda baik bagi Masyarakat Gowa, Sebaliknya jika timbangan Benda Kebesaran tersebut lebih ringan maka hal tersebut merupakan petanda akan terjadi suatu Musibah di Tanah Gowa/Makassar. Namun karena timbangan itu kini sudah tak ada, sebagai gantinya hanya memanjatkan do`a bersama yang dipimpin oleh sesepuh adat Kerajaan Gowa.
Upacara Accera Kalompoang memang terlihat sederhana, namun dibalik upacara ini mengandung makna yang sangat berarti bagi masyarakat Gowa. Selain mengagungkan Sang Pencipta, menghormati para leluhur dan melestarikan nilai-nilai budaya, upacara ini juga menjadi momentum mempererat tali persaudaraan antara pemerintah dengan masyarakat.

sumber : http://sejarah.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar