Di POskan OLeh: Muhammad Adlan Saleh (105310166710)
Upacara adat
Accera Kalompoang adalah salah satu
ritual adat yang bersifat sakral, yang sangat diyakini dan dihormati
oleh masyarakat Gowa, Sulawesi Selatan. Upacara yang di gelar dirumah
adat Balla Lompoa atau Istana Raja Gowa ini merupakan
upacara ritual adat terbesar sepanjang tahun. Prosesinya sendiri dimulai
sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu Sultan Alauddin,
Raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam.
Accera Kalompoang, merupakan acara ritual pencucian benda-benda
peninggalan Kerajaan Gowa yang masih tersimpan di
Istana Balla Lompoa. Berlangsung selama 2 hari berturut-turut, menjelang
dan pada saat Idhul Adha.
Ritual allekka je’ne, merupakan upacara
mengambil air di Bungung Lompoa (Sumur Agung bertuah yang
terletak di daerah Katangka, tepatnya di atas bukit Takabassia). Sesajen
berupa bente, atau beras ketan, dupa, lilin,
dan daun sirih, turut serta dibawa bersama iring-iringan Dewan adat
Kerajaan Gowa, Sambil melantunkan paroyong,
atau nyanyian kepada Sang Pencipta dan leluhur, para sesepuh adat
memainkan alat musik jajjakkang. Alat musik
yang terdiri dari kancing, bacing, bulo, dan kaoppo
ini merupakan alat musik yang digunakan kalangan raja untuk pesta adat
di Gowa.
Sesajen mulai ditabur diatas air sumur. Air sumur lalu diambil dengan
menggunakan sero, atau timba, yang bahannya
terbuat dari daun lontar. Konon, ada tiga sumur disekitar Bukit
Tamalatea. Namun dua dari tiga sumur tersebut,telah hilang secara ghaib.
Usai mengambil air, rombongan kembali ke istana untuk mengikuti upacara
selanjutnya. Yaitu upacara ammolong tedong, atau penyembelihan kerbau,
saat matarahari pada posisi allabang lino atau pertengahan bumi. Kerbau
yang akan disembelih harus memenuhi syarat antara lain jantan, berwarna
hitam dan kondisinya prima. Sang kerbau pun diperlakukan secara khusus.
Diberi cermin, disisir bulu-bulunya, dan diikatkan kain putih sebagai
simbol kesucian. Lalu kerbau diarak keliling istana sebanyak 3 kali
putaran.
Sebelum prosesi penyembelihan berlangsung, keluarga yang memiliki hajat,
melakukan sebuah prosesi, sebagai bentuk penghormatan kepada Sang
Pencipta dan para leluhur. Satu persatu para turunan Raja Gowa ini,
memecahkan telor, memberi minyak khusus dan mengarahkan uap ke kepala
kerbau. Penyembelihan dilakukan oleh seorang sesepuh adat. Darah kerbau
ini selanjutnya disimpan di istana.
Malam hari, berlangsung upacara appidalleki,
yang bermakna, persembahan sesajen kepada leluhur sembari memanjatkan
doa syukur kepada Sang Pencipta. Upacara ini hanya untuk kalangan
keluarga raja saja.
Keesokan Harinya, usai mengikuti shalat Idul Adha, upacara allangiri
kalompoang, atau pencucian benda-benda utama pusaka
kebesaran Kerajaan Gowa pun dimulai. Ini merupakan puncak upacara dari
segala rangkaian acara accera kalompoang.
Air bertuah yang diambil dari Bungung Lompoa diletakkan
diatas panggung, beserta darah kerbau dan sesajen lainnya.
Benda peninggalan Kerajaan Gowa yang berjumlah 13 buah, mulai
dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Annyossoro,
atau pembersihan mulai dilakukan, Benda-benda pusaka ini lalu diberikan
kepada para sesepuh adat yang sudah menanti di atas panggung.
Para sesepuh adat mulai mencuci benda-benda pusaka yang terdiri dari,
salokoa, atau mahkota Raja, yang memiliki berat 1768 gram,
terbuat dari emas murni, dan ditaburi 250 permata, dimana Mahkota ini
berasal dari Raja Gowa Pertama Tumanurung Baineyya.
Benda pusaka lain adalah ponto janga jangaya
(Terbuat dari emas murni yang berat seluruhnya 985,5 gram, bentuknya
seperti Naga yang melingkar sebanyak 4 buah. Dinamai “Mallimpuang” yang
berkepala naga satu dan “Tunipalloang” yang berkepala naga dua, benda
ini merupakan benda “Gaukang” {kebesaran Raja} di Gowa dan dipakai pada
pergelangan tangan, Benda ini berasal dari Tumanurunga). Dilanjutkan
dengan pencucian tobo kaluku (rante
manila dengan berat 270 gram yang merupakan hadiah dari kerajaan Sulu
di Philipina pada abad XVI), empat kolara (kalung
kebesaran yang terbuat dari emas murni seberat 2.182 gram), empat kancing
gaukang (kancing emas) dengan berat 277 gram,
Tidak ketinggalan benda tajam seperti lasippo berbentuk
parang dari besi tua, sudanga berbentuk kalewang yang
merupakan senjata sakti atribut raja, berang manurung
(parang panjang) dan mata tombak tiga jenis. atau
rantai emas, dan benda-benda pusaka lainnya, yang sering digunakan para
raja dahulu kala. Satu persatu benda pusaka dibasuh oleh air Sumur
Bungung Lompoa, kemudian diasapi dengan dupa.
Upacara diakhiri dengan prosesi attitele, atau
pelepasan hajat. Para keturunan Raja Gowa mengambil air dan darah
kerbau untuk dibubuhi pada mahkota. Jaman dulu kala, seusai mencuci
benda pusaka, masyarakat menunggu proses annimbang,
atau menimbang benda-benda pusaka dengan timbangan khusus, konon ketika
timbangan Benda-Benda Kebesaran itu lebih berat dari tahun sebelumnya
maka hal tersebut merupakan suatu petanda baik bagi Masyarakat Gowa,
Sebaliknya jika timbangan Benda Kebesaran tersebut lebih ringan maka hal
tersebut merupakan petanda akan terjadi suatu Musibah di Tanah
Gowa/Makassar. Namun karena timbangan itu kini sudah tak ada, sebagai
gantinya hanya memanjatkan do`a bersama yang dipimpin oleh sesepuh adat
Kerajaan Gowa.
Upacara Accera Kalompoang memang terlihat sederhana, namun dibalik
upacara ini mengandung makna yang sangat berarti bagi masyarakat Gowa.
Selain mengagungkan Sang Pencipta, menghormati para leluhur dan
melestarikan nilai-nilai budaya, upacara ini juga menjadi momentum
mempererat tali persaudaraan antara pemerintah dengan masyarakat.
sumber : http://sejarah.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar